Selasa, 09 Maret 2010

Don't Leave Me

Malam begitu larut. Udara begitu dingin menusuk tulang. Langit kelabu tertutup mendung tebal. Tak ada rembulan seperti yang kuharapkan. Perlahan butir-butir air hujan turun, menari ke sana ke mari, meloncat-loncat dari satu daun ke daun lainnya. Suara katak ramai menyambut datangnya hujan. Pelan kututup jendela kamar dan aku pun beranjak pergi dari tempatku berdiri.

Suara mesin jahit di kamar depan yang begitu jelas terdengar dalam keheningan mengusik hatiku. Seraut wajah tanpa lelah kini ada di depanku. Memang, sejak ayah meninggal, kini hanya ada ibu dan adik laki-lakiku yang kupunyai. Beliau berjuang keras untuk menghidupi aku dan adikku, Adnan.

Sudah hampir setahun ayah meninggal. Beliau telah berpulang ke rahmatullah karena kecelakaan. Pada saat itu, ayah pergi ke Semarang untuk menghadiri resepsi perkawinan anak teman kerjanya. Ya, ayah mengajak aku, ibu dan Adnan juga untuk ke acara itu. Aku masih ingat ketika pulang dari acara tersebut, sebuah mobil Avanza menabrak mobil kami di tikungan jalan. Kami ditolong oleh warga sekitar dan dibawa ke rumah sakit. Tapi naas, nyawa ayah tak dapat ditolong. Betapa sedih hati kami mendengar ayah telah meninggal. Aku tahu pasti ibu sangat terpukul mendengar berita itu. Tapi itulah kenyataannya. Ayah telah pergi untuk selamanya.

Perlahan kudekati ibu yang sedang asyik menjahit. Dengan keahliannya itulah kami dapat hidup. Aku jadi sedih bila melihat ibu bekerja keras demi menghidupi aku dan Adnan. Tapi, apa yang bisa kulakukan? Sekarang saja aku masih duduk di kelas sepuluh. Masih dua tahun lagi aku dapat lulus. Kadang, ingin rasanya aku berhenti sekolah saja dan membantu ibu mencari uang. Namun aku sadar, aku harus belajar dengan giat agar suatu saat nanti aku bisa menjadi orang sukses dan dapat membahagiakan ibu dan adikku.

Lamunanku menjadi buyar ketika ibu memanggil namaku. Sepertinya ibu melihatku memperhatikannya sedari tadi.

“ Lely, sudah makan?” Suara ibu memecah kesunyian malam yang diguyur hujan.

“ Sudah, Bu. Boleh aku membuat mata itik ini? “ Ibu mengangguk dan kembali menekuni pekerjaannya. Suasana kembali sunyi. Aku pun begitu asyik membuat lubang-lubang tempat kancing. Rasanya ada kesenangan tersendiri dalam membuatnya.

“ Lely, sudah malam. Tidurlah!” Perintah ibu. Mau tak mau aku mengangguk. Ingin rasanya membantah. Namun, aku tak cukup keberanian untuk menentang perintah ibu. Ibu begitu tegas, tapi penuh kelembutan dan kasih sayang. Aku sangat bersyukur mempunyai ibu seperti beliau.

Dengan langkah malas aku berjalan menuju kamarku. Sebenarnya aku ingin tidur tapi rasanya kedua mataku ini belum mau terpejam. Aku memperhatikan adikku, Adnan yang ada di kasur sebelahku. Kamarku memang terbagi menjadi dua yaitu setengah untukku dan setengah lagi untuk Adnan. Sekarang Adnan sudah kelas tiga sekolah dasar. Umurnya sekitar delapan tahun. Ya, memang di usia sekian Adnan sedang asyik-asyiknya bermain. Jadi, dia sudah tidur sedari tadi. Kelelahan mungkin.

Lama-lama rasa kantuk mulai menyerangku. Aku tak tahan lagi dan perlahan-lahan akupun membaringkan tubuhku. Aku berharap semoga malam ini aku dapat bermimpi bertemu ayah untuk mengobati kerinduanku. Amiin.

Pagi itu aku bangun agak kesiangan. Kulirik jam tangan milik anak SMP yang berdiri di sampingku. Wah, kurang seperempat jam lagi! Batinku.

Bus selalu penuh sesak bila hari sudah siang begini. Akhirnya, aku naik juga walau harus berdesakan.

“Cepat naik! Kemana sih kakimu?” Teriak Pak Kondektur.

Aku seperti tersengat mendengarnya. Semua mata memandang ke arahku. Wajahku memerah dan dan pelupuk mataku memanas. Cacat di telapak kakiku memang membuatku tak bisa berjalan cepat apalagi berlari. Ya, karena kecelakaan yang merenggut nyawa ayah itulah aku menjadi cacat seperti ini. Meski demikian aku bersyukur, aku tidak kehilangan kakiku.

Setelah turun dari bus, aku berjalan memanggil tukang becak. Biasanya kalau aku berangkatnya tidak terlalu siang, aku selalu berjalan kaki. Tapi kali ini sepertinya tidak. Bisa terlambat nanti kalau aku tetap berjalan kaki.

“Ke mana, Non?”

“SMA 1. Cepat ya, Pak!”

Becak meluncur di jalan beraspal yang basah. Aku termenung mengingat kejadian di bus tadi. Hal ini sebenarnya bukan baru sekali ini terjadi. Sudah sering aku mendengar kata-kata seperti itu tapi tak kuhiraukan. Namun, aku tak tahu mengapa sekarang hatiku begitu sakit mendengar itu. Tapi tak apalah. Aku harus tabah dan tawakkal menjalani hidup ini.

“Non, sudah sampai,” suara tukang becak mengejutkanku.

“Oh, ya, maaf, Pak!” Ujarku tergagap. Cepat kurogoh sakuku mengambil selembar uang ribuan dan segera menyerahkan kepada tukang becak tadi.

“Ini kembaliannya, Non!”.

“Ambil saja, Pak!” Seruku sambil menyeret kakiku agar bisa bergeser memasuki gerbang sekolah. Hanya dua atau tiga anak yang terlihat baru berangkat.

“Untung aku tidak telat, kalau telat bisa malu aku,” batinku.

Sesampainya di kelas, Andini menyambutku. Aku merasa ada yang ganjil, mengapa Andini ada di kelasku? Andini memang bukan teman sekelasku. Dia kelas X.8 dan aku kelas X.7.

“ Selamat pagi!” Sapa Andini ramah seperti biasanya.

“Pagi!”

“Tumben berangkat siang.”

“Kamu sendiri ngapain pagi-pagi udah ada di sini,” timpalku cepat. Tawa kami berderai bersama.

Bel berbunyi dan Andini segera pergi kembali ke kelasnya.

Hari ini tak ada hal luar biasa yang kualami. Pelajaran lancar-lancar saja sebagaimana biasanya. Biasanya, sih, pulang sekolah aku selalu dibonceng Andini, tapi karena Andini sedang sibuk sebagai Bendahara OSIS hari ini terpaksa aku pulang sendiri.

* * *

“Ough, ough, ough!”

Itu suara batuk adikku. Sudah dua hari ini badan Adnan panas. Ia sering mengigau, memanggil-manggil nama ayah. Adnan juga sering minta diantar buang air kecil malam-malam . Aku dan ibu menjadi takut dibuatnya. Ibu mengira bahwa Adnan hanya sakit demam biasa sehingga ibu hanya memberinya obat penurun panas. Demam Adnan memang turun. Tapi beberapa hari setelah itu Adnan sering mengeluh bahwa perutnya sakit, mual, dan sesak napas. Awalnya gejala itu memang sembuh, tapi beberapa hari setelah itu lagi-lagi Adnan mengeluh. Apa yang terjadi denganmu Adnan?

* * *
Hari ini aku berangkat sekolah seperti biasanya. Tapi otakku terus memikirkan keadaan Adnan di rumah. Bagaimana keadaan Adnan, ya? Apa dia baik-baik saja? Tambah parahkah sakitnya? Aku menjadi tidak konsentrasi mengikuti pelajaran hari ini. Ingin rasanya aku pulang membantu ibu merawat Adnan. Tapi sepertinya tak mungkin. Sebentar lagi aku akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Kalau aku membolos nanti aku bisa ketinggalan pelajaran. Tidak, aku tidak boleh pulang. Aku berharap semoga Adnan baik-baik saja.

“Dooooooooor !” Suara Dewi, teman sebangkuku, mengagetkanku. Bisa berhenti detak jantungku jika aku tidak bisa menahan diri.

“Kenapa? Kok dari tadi aku lihatin kayaknya kamu murung. Ada masalah?” Dewi mengajukan bermacam-macam pertanyaan, menyelidik. Dia ingin tahu apa yang sedang aku pikirkan.

“Ah, nggak ada apa-apa kok. Cuma capek aja tadi berdiri terus naik busnya, nggak dapat tempat duduk,” kataku mencoba menyembunyikan kegelisahanku.

“Oh, begitu. Kirain ada masalah. Kalau ada masalah atau apa, cerita aja sama aku. Aku pasti dengerin, kok,” tutur Dewi.

“Makasih, ya, Dew. Kamu memang sahabatku yang paling baik. “

Kami berdua berpelukan. Aku beruntung mempunyai sahabat sebaik Dewi. Hanya dia dan Andini yang mau mendengar cerita dan keluh kesahku. Ya, hanya mereka. Teman-temanku yang lain tak ada yang mau berteman denganku. Malu mungkin karena aku cacat.

Akhirnya bel pulang berbunyi juga. Alhamdulilah aku bisa pulang juga untuk membantu ibu. Cepat-cepat aku berjalan menuju halte bus. Setelah sekian lama menunggu , akhirnya bus yang aku naiki lewat juga. Cepat-cepat aku naik. Ingin rasanya cepat-cepat pulang dan melihat keadaan Adnan.

“Semoga Adnan tak apa-apa,” batinku sepanjang perjalanan.

Akhirnya aku sampai juga di rumah. Segera kuketuk pintu dan kuucapkan salam. Tanpa menunggu terlalu lama , ibu membukakan pintu. Tapi kulihat wajah ibu sepertinya gelisah. Segera kutanya keadaan Adnan.

“ Bu, bagaimana keadaan Adnan?”

“ Ibu khawatir, Lel. Badan Adnan tambah panas.”

Mendengar jawaban ibu, aku langsung masuk ke kamar Adnan. Kulihat Adnan sedang tidur. Sepertinya pulas sekali. Senyum mengembang di bibirnya, mungkin dia sedang bermimpi indah. Segera aku berbalik, meninggalkan Adnan yang sedang tidur, takut kalau-kalau Adnan terbangun atau terganggu dengan kehadiranku. Belum sampai aku keluar dari kamarnya, tiba–tiba Adnan mengigau.

“ Ayah…….ayah, Adnan mau ikut ayah. Ayah…..,” Adnan menangis. Seperinya Adnan bermimpi bertemu ayah dan ingin ikut dengannya tapi tak boleh. Aku kaget mendengar suara Adnan. Aku tak jadi keluar. Segera kudekati Adnan dan kupegang dahinya. Panas sekali. Segera kupanggil ibu. Tak lama kemudian, ibu sudah sampai di kamar Adnan.

“ Ada apa Lely ? Adikmu kenapa ?”

“ Nggak tahu Bu. Tadi Adnan mengigau. Dia terus memanggil–manggil ayah. Aku takut Bu, jangan–jangan Adnan terkena penyakit yang parah. Kita bawa saja Adnan ke dokter, biar tahu Adnan sakit apa,” usulku. Ibu hanya terdiam.

“ Tapi Ibu tidak punya uang, Nak. Nanti mau bayar pakai apa?“ “Kalau masalah biaya, kita pikirkan nanti, yang penting Adnan sembuh dan sehat lagi.”

“ Ibu mengangguk. Segera aku dan ibu membawa Adnan ke dokter terdekat. Sesampainya di sana, kami langsung disambut perawat yang ramah. Kami dipersilakan masuk dan menemui dokter.

“ Kenapa adiknya,Mba ? “ Tanya dokter.

“ Nggak tahu, Dok. Sudah beberapa hari ini dia selalu mengeluh kalau perutya sakit, mual, dan ingin muntah. Kami takut, Dok, kalau-kalau terjadi sesuatu dengannya,” terangku.

“ Baiklah, biar saya periksa dulu.”

Dengan teliti dan cepat, dokter langsung memeriksa Adnan. Kami disuruh menunggu di luar. Tidak lama kemudian, dokter pun keluar. Segera aku berdiri dan menanyakan keadaan Adnan.

“ Bagaimana keadaan adik saya, Dok. Dia kenapa?”

“ Menurut analisis saya, adik Mba menderita penyakit ginjal. Tapi itu belum pasti. Coba bawa adik Mba ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Untuk urusan biaya, nanti biar saya buatkan surat rujukan,” terang dokter.

Aku mengangguk. Aku memandang Ibu. Kasihan sekali Ibu harus menanggung beban seberat ini. Tanpa aku sadari air mataku menetes. Cepat–cepat kuusap, takut kalau Ibu melihatnya.

“ Terima kasih, Dok,” ucapku.

“ Sama–sama.”

“Bu, kita harus membawa Adnan ke rumah sakit. Besok kita bawa dia ke rumah sakit, ya!” Kataku ketika sampai di rumah.

Ibu menangguk sambil tersenyum. Ibu memang sabar dan tabah. Aku bangga mempunyai ibu seperti dirinya.

* * *

Hari ini aku dan ibu membawa Adnan ke rumah sakit. Ternyata benar, Adnan menderita penyakit ginjal. Kata dokter, Adnan harus makan makanan yang bergizi dan rendah garam, protein, dan fosfat. Selain itu, Adnan harus melakukan cuci darah tiap satu minggu sekali.

Setiap seminggu sekali, Adnan cuci darah. Biayanya memang tidak sedikit. Ibu harus bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan uang untuk membiayai pengobatan Adnan. Sering aku melihat Ibu belum tidur hingga larut malam demi menyelesaikan pesanan baju yang harus dijahitnya. Tapi aku melihat ibu begitu tegar. Tak pernah ibu mengeluh.

Hari ini aku mengantar Adnan cuci darah. Sekiar satu jam aku menunggu Adnan menjalani pengobatannya. Adnan memang anak yang kuat. Dia tak pernah mengeluh atau mengatakan sakit kalau sedang menjalani cuci darah. Dia memang tegar.

Sambil menunggu Adnan menjalani proses cuci darah, aku berbincang-bincang dengan salah seorang pengunjung yang sedang menemani saudaranya berobat.

“ Bengong aja, Mba, lagi nemenin siapa?” Tanya bapak yang bernama Edy itu.

“ Oh, nemenin adik untuk cuci darah,” jawabku.

“ Adik Mba menderita penyakit ginjal, ya?”

“ Ya, begitulah.”

“ Berapa minggu sekali adik Mba cuci darah?”

“ Seminggu sekali,” jawabku.

“ Kalau seminggu sekali menjalani proses cuci darah pasti biaya yang dikeluarkan juga cukup banyak. Saya pernah mendengar kalau penderita penyakit ginjal itu bisa sembuh jika dia menjalani cangkok ginjal. Tapi biayanya juga besar dan jarang ada orang yang mau mendonorkan ginjalnya. Tapi kalau sabar menunggu, Insya Allah bisa dapat donor ginjal,” tukas Pak Edy.

Aku hanya terdiam dan tersenyum mendengar perkataan Pak Edy. Tak lama kemudian, saudara Pak Edy keluar dari ruang dokter.

“ Maaf, Mba. Saya duluan. Yang tabah, ya!” pesan Pak Edy.

“ Terima kasih. Senang berbincang–bincang dengan Bapak,” tukasku.

Akhirnya, selesai juga Adnan menjalani proses cuci darah hari ini. Sehabis cuci darah, Adnan memang terlihat seperti sudah sembuh. Akan tetapi, setelah itu ia akan terlihat pucat lagi. Kasihan dia.

Sesampainya di rumah, aku berbicara pada ibu mengenai perkataan Pak Edy tadi.

Bu, tadi di rumah sakit , Lely bertemu dengan seorang bapak yang sedang menemani saudaranya berobat. Beliau mengatakan bahwa Adnan bisa sembuh kalau dia menjalani cangkok ginjal. Bagaimana kalau kita coba, Bu?” Usulku pada ibu.

Ibu menatapku dengan penuh arti. Sepertinya ibu setuju dengan usulku itu.

“ Baiklah. Besok kalau Adnan cuci darah lagi, Ibu akan tanyakan pada dokter bagaimana cara mendapatkan donor ginjal dan berapa biayanya. Sekarang, tidurlah. Kamu pasti capai menemani adikmu seharian.”

Aku menurut. Memang, sih, badanku terasa agak pegal hari ini. Mungkin kecapaian atau kurang olahraga. Entahlah.

Seminggu kemudian, aku dan ibu membawa Adnan ke rumah sakit untuk cuci darah lagi. Selagi Adnan menjalani proses cuci darah, Ibu menanyakan tentang pencangkokan ginjal pada dokter di ruangan lain sedangkan Adnan aku yang menunggui.

“ Lely, tadi Ibu sudah menanyakan soal pencangkokan ginjal Adnan. Kata dokter sulit untuk mendapatkan donor ginjal dan biayanya juga besar. Tapi Ibu janji, Ibu akan bekerja lebih keras lagi agar adikmu lekas sembuh,” ujar ibu dengan semangat ketika sudah sampai di rumah.

Hari berganti begitu cepat. Ibu semakin keras bekerja. Beliau ingin agar Adnan cepat sembuh. Ibu bekerja tanpa kenal waktu, tanpa kenal lelah. Aku berusaha membantu ibu sebisaku. Ibu tak pernah memperhatikan kesehatannya hingga kesehatan ibu pun turun drastis. Kasihan Ibu. Kalau ibu terus–menerus begini, nanti ibu bisa sakit, pikirku.

“ Bu, istirahatlah. Ini sudah larut malam, nanti Ibu bisa sakit, lho!”

“ Sebentar lagi, Nak, ini juga hampir selesai. Tanggung kalau tidak sekalian dikerjakan,” jawab ibu.

Aku hanya diam mendengar jawaban ibu. Aku pun langsung menuju ke kamar karena mataku rasanya sudah berat. Aku tertidur dan tak tahu jam berapa ibu tidur tadi malam.

* * *

Sepulang aku sekolah ibu mengatakan padaku bahwa hingga saat ini belum ada orang yang mau mendonorkan ginjalnya. Aku jadi kasihan kepada Adnan dan ibu. Aku kasihan pada ibu karena beliau harus berjuang sendirian mencari nafkah untuk aku dan Adnan. Lebih-lebih setelah Adnan jatuh sakit, sepertinya beban ibu semakin berat saja. Kalau Adnan, kasihan dia. Dia harus menahan sakitnya. Ingin rasanya aku menangis kalau melihat Adnan memegangi perutnya yang sakit hingga air matanya menetes. Ya Allah, semoga penderitaan ini cepat berakhir.

Aku mendapat ide bagaimana agar Adnan cepat sembuh dan ibu tidak lagi bekerja terlalu keras untuk mencari biaya pencangkokan ginjal Adnan. Aku harus mendonorkan ginjalku! Ya…, hanya itu yang bisa aku lakukan. Besok aku akan bilang kepada ibu dan semoga ibu setuju.

Esok paginya, aku bicara pada ibu bahwa aku ingin mendonorkan ginjalku untuk Adnan. Namun, ibu menolak.

“Nak, Ibu tahu kalau kamu sangat sayang pada adikmu. Akan tetapi, tak usahlah kamu melakukan itu. Ibu masih sanggup kok, untuk mencari biaya pencangkokan ginjal adikmu.“

“Ibu tak ingin kau mendonorkan ginjalmu. Ibu janji, Ibu akan segera mendapatkan uang untuk pengobatan Adnan.”

Aku sedih mendengar jawaban ibu. Kasihan Adnan. Dia pernah mengadu padaku kalau dia ingin cepat-cepat sembuh dan bisa sekolah serta bermain dengan teman- teman lagi.

Sebulan telah berlalu. Kondisi Adnan semakin memprihatinkan. Wajahnya semakin pucat dan tubuhnya kian kurus.Namun, sampai saat ini belum ada orang yang mau mendonorkan ginjalnya. Kembali kuutarakan niatku untuk mendonorkan ginjalku.

“ Bu, kasihan Adnan. Kita harus segera melakukan cangkok ginjal untuknya. Biarlah Lely memberikan satu ginjal Lely untuk Adnan. Toh, dengan satu ginjal pun Lely masih dapat hidup. Bu, tolong!” Aku memelas pada ibu. Ibu terdiam. Aku melihat air matanya jatuh. Belum pernah aku melihat ibu menangis. Ya, baru kali ini.

“ Kenapa Ibu menangis?”

“ Ibu sedih, Nak. Ibu tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kamu dan Adnan,” jawab ibu sambil terisak.

“ Tidak, Bu. Ibu adalah ibu terbaik yang ada di dunia ini. Lely bangga punya ibu seperti Ibu. Ibu jangan khawatir. Lely pasti akan baik–baik saja meskipun ginjal Lely diberikan untuk Adnan. Lely ikhlas kok, Bu, yang penting Adnan sembuh. Sudah, Ibu jangan sedih lagi, ya!”

Hari ini aku menjalani tes kesehatan untuk mengecek ginjalku. Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar dan ginjalku pun sehat. Aku senang sekali. Terlebih Adnan. Dia begitu gembira ketika dia mendengar bahwa dia akan sembuh karena sudah ada yang mau mendonorkan ginjalnya untuknya.

Beberapa hari kemudian, aku dan Adnan menjalani operasi pencangkokan ginjal. Semua berjalan lancar. Ibu tampak gelisah ketika aku dan Adnan masuk ruang operasi. Tak henti–hentinya, doa selalu keluar dari mulut beliau.

Aku melihat ibu menangis ketika aku terbangun dari obat bius yang membuatku pingsan tadi. Sedang Adnan sampai sekarang belum sadar.

“ Nak, kau sudah sadar?” Tanya ibu padaku.

“ Alhamdulillah, Bu. Lely baik–baik saja kok. Ibu tak usah khawatir. Adnan sudah sadar, Bu?” tanyaku.

“ Belum. Kata dokter obat biusnya bekerja cukup lama. Tapi kau tak usah khawatir. Adikmu akan baik–baik saja. Terima kasih, ya, Nak. Kau mau mendonorkan ginjalmu untuk Adnan.”

“ Sudahlah, Bu. Yang penting , sekarang Adnan bisa sembuh. Lely ikhlas kok,” jawabku sambil tersenyum.

Ibu memelukku. Tak lama kemudian, Adnan pun siuman tapi kondisinya masih lemah. Dengan lirih, ia berterima kasih padaku.

“ Kak, makasih ya. Kakak udah mau memberikan ginjal Kakak untuk Adnan. Adnan sayang banget sama kak Lely.”

Aku menangis mendengar perkataan Adnan. Ya, Adnan sekarang akan sembuh. Terima kasih, ya Allah.

* * *

Sebulan telah berlalu. Kondisi Adnan kian membaik. Dia sudah bisa bersekolah lagi walaupun kegiatan yang diikutinya belum terlalu padat. Adnan memang butuh istirahat agar kesehatan ginjalnya cepat pulih. Aku bersyukur bisa membuat Adnan tersenyum lagi. Terima kasih, Ya Allah. Kau telah menolong kami dan membuat kami tetap utuh. Kau telah memberikan kesehatan untuk Adnan. Yaa Allah, kami sadar bahwa kami hanyalah makhluk yang kecil. Hanya dengan anugrah–Mu-lah kami dapat hidup. Aku bahagia bisa membuat Adnan tersenyum lagi. Meskipun aku hidup dengan satu ginjal, aku bangga karena ginjalku itu ada di tubuh adikku tersayang, Adnan.

0 komentar:

Posting Komentar