Selasa, 08 Maret 2011

Setrika Arang Emak

Mak, arangnya sudah habis nih,” aku berteriak sekencang mungkin agar Emak mendengar suaraku. Maklum beliau sudah tua.
“Ada apa, sih. Tidak usah teriak-teriak begitu kenapa, malu kan sama tetangga,” ujar Emak sambil tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Arangnya sudah habis tuh, gimana mau nyetrika,” rungutku kesal.
Bagaimana tidak kesal, sudah capek-capek pulang dari sekolah masih saja disuruh menyetrika baju yang bejibun banyaknya. Mana persediaan arang kami sudah habis. Meski sekarang zaman sudah canggih, kami masih tetap menggunakan setrika arang. Memang sakarang sudah jarang orang yang memakai setrika arang, tapi bagi Emak itu bukan masalah. Pernah suatu hari aku mengusulkan agar Emak membeli setrika yang baru saja tapi apa jawabnya?
“ Sebaiknya kita tetap melestarikan alat tradisional agar tidak punah,” begitulah kira-kira jawaban Emak. Heuhh…sebal juga berbicara dengan orang zaman dulu alias jadul, batinku.
Memang di rumah kami sekarang, setidaknya di kampung kami tepatnya, listrik sudah ada tapi Emak tetap berusaha untuk tetap hemat. Listrik di rumah kami hanya terpasang 450 watt tapi itu tidak seluruhnya kami gunakan. Kami hanya mempunyai beberapa lampu yang sedikit saja digunakan, itupun lampu neon 10 watt sebanyak dua buah dan yang lain hanya empat buah dop kecil lima watt untuk penerangan pada bagian tertentu di rumah kami seperti dapur, kamar mandi, dan ruang tamu. Bahkan televisi empat belas inci pun jarang kami hidupkan dan tonton bersama.
Alasannya sepele, kami tidak mungkin mampu membayar rekening listrik tiap bulan jika seluruh listrik di rumah kami menyala termasuk saat kami ingin menonton televisi. Jadi, Emak bersikeras untuk tidak memakai setrika yang lebih modern seperti kebanyakan milik orang-orang dan para tetangga yang tinggal mencolokkannya saja sudah ‘panas’. Tidak perlu kipas-kipas segala untuk menghidupkan arangnya baru bisa dipakai menyetrika.
Dulu sewaktu ayah masih ada dan masih sehat, ayahlah yang menjadi tulang punggung keuangan keluarga kami. Ayah bekerja sebagai tukang kebun di sebuah
sekolah swasta di kota kami. Walau dengan gaji pas-pasan, kami tidak takut untuk membayar rekening listrik. Pembayarannya tak lebih dari lima puluh ribu rupiah dan kami bisa menggunakan fasilitas listrik dengan baik dan sedikit lebih hemat. Akan tetapi, sekarang semuanya sudah berubah.
Ayah sudah meninggal empat tahun yang lalu saat aku masih duduk di kelas satu SMP. Mau tak mau Emak yang memang bekerja sebagai buruh cuci benar-benar membanting tulang memeras keringat untuk membiayai kehidupan kami. Dengan anak tiga orang dan semuanya masih sekolah, kami harus tahu diri dan harus saling bahu-membahu membantu meringankan pekerjaan Emak.
Dulu memang banyak pelanggan-pelanggan yang datang ke rumah kami, meminta menyucikan baju sekaligus menyetrikakannya dengan rapi, baru kemudian Emak mendapat bayaran. Lumayanlah untuk biaya hidup kami sekeluarga. Dengan penghasilan sekitar seratus lima puluh ribu per bulan, Emak dapat menambah penghasilan. Bahkan aku ingat apa yang pernah ayah katakan pada kami waktu itu, saat kami semua belajar di ruang tamu seperti biasa saat malam tiba.
“Ayah ingin kalian belajar dengan baik hingga suatu saat nanti kalian tidak akan seperti Ayah dan Emak kalian yang kesulitan mencari pekerjaan yang layak,” kata ayah waktu itu sambil memperhatikan kami satu per satu.
“Meski kehidupan kita seperti ini, ayah tidak akan pernah berhenti untuk menyekolahkan kalian hingga ke perguruan tinggi. Namun, ingat pesan ayah, kalian jangan pernah malu dengan apa yang dimiliki orang tua kalian saat ini.” Sesaat ayah menghela napas sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Karena atas izin Allah jualah apa yang dimiliki Ayah dan Emak suatu saat akan menjadikan kalian orang-orang yang berguna. Ayah harap kalian tetap belajar dengan rajin agar kehidupan kalian kelak lebih cerah,” lanjut ayah, menjadikan kata-katanya suatu pertanda bahwa pada suatu saat nanti ayah akan meninggalkan kami semua untuk kembali ke pangkuan Sang Pencipta.
Ah, ayah…andai engkau masih ada mungkin Emak tak akan seperti ini. Bekerja seorang diri mencari uang untuk memenuhi keinginan ayah agar kami semua bisa bersekolah. Walau keadaan waktu itu tidak pernah terbayang dalam benakku untuk terus menjalani kehidupan yang seperti berbalik dari kehidupan kami saat ini. Namun, aku berjanji untuk tidak menyia-nyiakan perjuangan Emak dan harapan ayah.
“Aduh, aduh Asih, kenapa malah melamun. Ayo cepat sana beli arang dulu ke warung Bu Karti,” Emak mengagetkanku dari lamunan sesaat. Tanpa menyanggah perkataannya aku berlari keluar dan membeli arang di warung yang tidak seberapa jauh dari rumah kami.
*****
Malam ini kami semua berkumpul di ruang tamu. Pagi tadi sewaktu kami pamitan berangkat ke sekolah Emak meminta agar malam ini kami semua berkumpul, katanya ada sesuatu yang ingin Emak sampaikan. Entah apa yang akan Emak katakan karena hingga beberapa menit berlalu Emak hanya memandang kami satu per satu.
“Mak, cepat dong. Emak mau bicara apa sih?” si bungsu Yola mulai merajuk sambil mengguncang-guncang lengan Emak.
“Iya, Mak. Masak dari tadi kita cuma bengong terus. Katanya disuruh kumpul malam ini, tapi kok pada bengong-bengongan gitu,” Aris, adikku yang nomor dua, juga mulai bosan dengan suasana yang senyap seperti itu dan mulai angkat bicara. Sementara diriku masih terus bersabar menunggu apa yang akan dibicarakan Emak. Hatiku mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi karena tidak biasanya Emak meminta kami semua berkumpul seperti ini. Aku yakin pasti ada sesuatu yang membuat beliau hingga meminta anak-anaknya untuk berkumpul seperti akan disidang. Beberapa saat kulihat Emak mulai menahan napas kemudian sebuah kalimat mulai keluar dari celah-celah bibir yang mulai tua dan terlihat nampak gemetar.
“Asih, Aris, dan juga Yola, mulai sekarang kalian harus dengarkan kata-kata Emak, ya. Emak sekarang sudah kesulitan mencari pelanggan karena sudah adanya toko laundry yang sudah dibuka oleh Wak Haji Karim. Semua pelanggan Emak sudah berpindah tempat.”
Emak kembali menarik napas sementara kami bertiga tercenung mendengarkan kata demi kata yang beliau ucapkan. Sungguh ini berita yang tak kami duga. Membayangkan Emak tidak bekerja dan para pelanggan yang tak mau lagi menitipkan cuciannya pada Emak, bukankah itu berarti ekonomi kami akan semakin sulit? Ditambah BBM yang semakin hari semakin membumbung tinggi. Lalu bagaimana kami bisa bertahan hidup sedangkan lahan untuk mencari nafkah saja sudah susah seperti ini?
“Emak harap kalian tidak patah semangat untuk terus belajar. Walaupun keadaan ekonomi kita sekarang tersendat-sendat, tetaplah kalian belajar dan terus berdoa semoga kita dapat mencari jalan keluarnya. Allah Maha Mengetahui kesulitan hamba-Nya dan pasti akan menolong hamba-Nya yang kesusahan,” ujar Emak dengan suara yang serak.
Mendengar perkataan Emak, aku mulai gelisah. Mungkinkah ini cobaan bagi kami? Lalu apa yang harus kulakukan sekarang jika keadaan terus saja seperti ini? Aku masih sekolah dan belum tamat SMA, Aris masih kelas dua SMP, dan si bungsu Yola masih duduk di bangku kelas enam SD yang sebentar lagi akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Aku mendesah perlahan. Pikiranku sangat kalut.
*****
Tadi pagi aku berjalan-jalan di sekitar kampung dan iseng-iseng aku juga ingin melihat toko laundry yang pernah dikatakan Emak beberapa bulan yang lalu.sampai di depan sebuah toko bertuliskan “Laundry Karim” yang tak lain adalah milik Wak Haji Karim aku tertegun sejenak. Ada tiga buah mesin cuci yang ketiga-tiganya mengeluarkan bunyi yang sangat ramai. Aku juga melihat beberapa anak sebayaku tengah asyik menyetrika baju-baju yang sudah kering sambil bercengkerama dengan teman-temannya. Bahkan kulihat juga beberapa perempuan membawa baju-baju kering dan diserahkan pada perempuan-perempuan yang sedang menyetrika.
Aku sedikit heran dengan orang tersebut. Di mana tempat menjemur pakaian itu? Kenapa begitu cepat keringnya dengan baju yang sebegitu banyaknya? Dengan penuh penasaran, perlahan aku melangkah mendekati toko tersebut. Apa yang kulihat benar-benar membuatku berdecak kagum. Beberapa orang yang telah mengangkat baju-baju yang telah dicuci itu membawa baju-baju tersebut dan menyerahkannya kepada seorang lelaki tinggi besar yang berdiri di sudut ruangan itu. Laki-laki tersebut kemudian memasukkan kembali baju-baju itu pada sebuah mesin yang mungkin bisa disebut sebagai mesin pengering karena tidak berapa lama kemudian laki-laki tersebut mengambil dan menyerahkannya pada perempuan-perempuan itu untuk disetrika.
Beberapa saat aku hanya bisa menjadi penonton bagi mereka hingga akhirnya dengan perlahan karena takut ketahuan aku meninggalkan toko tersebut. Aku membayangkan seandainya Emak mau mendengarkan usulku waktu itu mungkin saat ini kami tidak akan kebingungan dengan masalah ekonomi. Hingga kini sudah lama Emak tidak menerima orderan dari orang-orang yang biasa menyucikan baju atau sekadar menyetrika. Keuangan kami semakin hari semakin menipis bahkan untuk membayar rekening listrik pun kadang kami semua kebingungan harus menunggu Emak menerima orderan lagi.
Dalam perjalanan pulang seribu bayangan berkecamuk dalam benakku. Mengapa saat ayah masih ada dulu Emak tidak mau menerima saranku untuk membeli setrika listrik, tidak seperti yang masih dipakainya saat ini harus beli arang dulu baru bisa menyetrika. Itu pun memakan waktu yang tidak cepat dan pasti sangat melelahkan.
Terkadang aku berkhayal seandainya listrik tidak ada atau petugas dari PLN mau memutuskan jaringan listrik di kampungku mungkin kami tidak akan kebingungan seperti saat ini, mencari pelanggan, dan tentunya ekonomi kami tidak akan mengalami kesulitan. Apalagi mengingat persaingan bisnis di zaman sekarang sudah semakin ketat. Mengingat kembali usaha yang dirintis oleh Emak yang masih bersikeras menggunakan alat tradisional setrika arang, tentu kalah jauh dengan usaha Wak Haji Karim yang semuanya menggunakan alat-alat yang serba modern. Aku harus mengambil tindakan untuk memecahkan persoalan ekonomi kami. Tak mungkin aku terus membebani pundak Emak yang sudah terlalu berat memikul beban hidup keluarga.
*****
Malam ini sengaja aku menemui Aris yang sejak lepas isya tadi kulihat hanya bengong di teras depan. Ada sesuatu yang harus kukatakan padanya.
“Hheh, Ris, mikirin apa kamu?”
Kulihat dia hanya menoleh sebentar ke arahku. Lalu dia mendongak ke atas yang membuatku ikut-ikutan mendongak mencari sesuatu yang membuat Aris bersikap cuek kepadaku.
“Emang di atas sana ada apa sih?” tanyaku sambil menyenggol pundaknya.
“Aris ingin mendapat jawaban dari bintang-bintang itu, Kak,” jawabnya pelan.
“Hah, jawaban apa, Ris? Ngaco kamu. Eh, Kakak mau ngomong nih,” selaku.
Belum sempat aku berbicara, Aris menatapku dan bicara mendahuluiku.
“Kak, seandainya benar kabar yang Aris terima, bisa nggak ya, Emak mendapat orderan lagi seperti dulu?”
Aku terdiam dan memandangi Aris, tak mengerti dengan apa yang dikatakannya dan berharap dia mau memberikan penjelasan padaku.
“Katanya sih, selama beberapa bulan petugas dari PLN akan memutuskan jaringan listrik untuk mengadakan perbaikan pada beberapa kerusakan yang terjadi. Pemadaman aliran listrik itu dilakukan secara bergantian di setiap kampung, yang artinya akan sampai juga pada kampung kita.”
“Emangnya kamu dapat kabar dari mana, Ris?”
“Dari teman sih, tapi mudah-mudahan itu benar-benar terjadi ya, Kak!”
“Yah…mudah-mudahan saja, Ris. Tapi Kakak rasa itu tak mungkin terjadi karena kalau itu terjadi semua kegiaan yang menggunakan jasa PLN akan jadi macet juga.”
“Kalau begitu Aris harus siap-siap menerima tawaran Mbak Meyda, dong.”
“Emangnya Mbak Meyda nawarin kerja apa sama kamu?” tanyaku penasaran.
“Di tempat Mbak Meyda selama ini kerja. Di laundry-nya Wak Haji Karim.”
Sejenak aku tertegun dengan jawaban yang diberikan Aris padaku. Aku benar-benar tidak menyangka kalau yang semula akan aku bicarakan dengan Aris malah telah didahuluinya. Semula aku berpikir ingin meminta pendapat Aris bagaimana kalau seandainya aku yang mencoba bekerja di sana karena kulihat banyak remaja sebayaku yang juga bekerja di laundry Wak Haji Karim.
“Terus kamu jawab apa, Ris?” tanyaku dengan menahan diri untuk tidak mengutarakan niatku semula.
“Aris belum jawab, Kak. Takut nggak boleh ama Emak…”
“Kalau kamu sendiri gimana?” tanyaku lagi, ingin tahu jawaban Aris.
“Kalau Aris sih, pengennya kerja biar bisa meringankan beban Emak dan menambah penghasilan agar bisa dipakai membayar sekolah Aris dan Yola, Kak.”
Aku tertegun dengan jawaban Aris karena apa yang ada dalam pikirannya saat ini begitu persis dengan apa yang aku pikirkan. Namun, akhirnya kuutarakan juga niatku pada Aris. Dia nampak terkejut dengan apa yang aku katakan.
“Aris, kalau boleh Kakak beri usul, biarlah Kakak yang akan bekerja di sana,” kataku ambil memandang wajah polos Aris.
“Lalu bagaimana dengan sekolah Kakak? Bukankah akhir-akhir ini Aris lihat Kakak banyak kegiatan di sekolah?”
“Kak Asih sudah mempertimbangkannya dengan matang. Biarlah Kakak yang akan bekerja pada Wak Haji Karim, dan untuk Emak nanti kita bicarakan bersama. Semoga Emak mau mengerti dengan usul Kakak ini.”
Aku membelai rambut hitam Aris dan tersenyum padanya untuk meyakinkannya. Apapun yang terjadi aku harus mengambil keputusan secepatnya. Tak mungkin aku terus menerus membiarkan keadaan ekonomi keluarga kami terus menurun tanpa pemasukan sedikitpun. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu saat aku melihat sendiri laundry Wak Haji Karim, aku sudah berpikir untuk mencari cara yang terbaik. Meski membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk memberi penjelasan dan alasan yang tepat agar tidak menyinggung perasaan Emak bila suatu saat nanti aku jadi bekerja di laundry Wak Haji Karim.
*****
Hingga saat ini aku masih terngiang-ngiang dengan kata-kata Aris tentang pemadaman listrik. Namun, sampai sekarang hal itu tak pernah terjadi. Mau tak mau aku ikut terobsesi dengan rencana pemadaman listrik dan berharap Emak akan menerima orderan lagi selama pemadaman itu terjadi. Ah….andai saja listrik benar-benar tidak ada, desahku tanpa sadar yang diamini oleh suara jangkrik di kegelapan malam.
*****

0 komentar:

Posting Komentar